Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan Suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu.
Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Februari 1943(Chairil A)
Aktivitas merajut ternyata membuat pikiran ikut terjalin bersama benang-benang. Dan tiba-tiba saja sebaris kalimat yang terlukis besar tepat di bawah jembatan rel kereta itu melintas kembali di kepala. 'Mampus kau di koyak-koyak sepi'. Kalimat itu terpatri kuat entah karena pengarangnya yang hebat, atau mungkin karena saya merasa kata-kata tersebut cukup bagus. Kadang untuk suatu kesukaan tidak perlu alasan.
Saat membaca puisi itu berulang-ulang. Tercetus pertanyaan: 'sebenarnya siapa yang kesepian?'
Mungkin sang penulis,mungkin yang memberi karangan bunga, atau mungkin saya sendiri.. Haha iseng saja mengetik paragraf-paragraf tidak jelas ini. Galau tingkat tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar